![]() |
emak di pintu rumahku |
"Manuk kuwi gak perlu adus, nduk," katanya setiap kali aku memrotesnya untuk memandikan burung.
Sama halnya dengan ayam. Sejak ayam itu masih kuthuk, masih kecil, hingga ayam itu keluar jalu dan jengger juga buntut ekornya memanjang, diletakkannya di dalam kurungan yang sama hingga ayam jago yang sebenarnya macho dan ganteng itu menjadi mentelung, membungkuk badannya karena sundhul kurungan, kurungannya terlalu kecil untuk ukuran ayam jantan yang siap untuk flirting.
Eh..boro-boro flirting, ini ayam gak beda jauh nasibnya sama anak wedoknya emak waktu ABG, gak boleh keluar ke mana-mana! Lhah gimana mau ndapetin babon cakep? Tiba waktunya kawin juga mesti dikawin paksa. Jadi ada beberapa kurungan gitu. Yang ayam cewek ditaruh di dunak jebrak sedang yang ayam cowok ditaruh di kurungan ayam beneran. Dan pas waktunya kawin itu ayam cewek dimasukkan ke kurungan ayam cowok. Ditonyol-tonyolin gitu biar cepet kawin. Duh!
Kebayang gak sih? Itu kurungan ayam buat ayam jago aja udah nyesek, ketambahan ayam cewek. Mana tempat kurungan itu di deketnya dapur pula, jadi pas kami makan bisa ngelihat itu ayam lagi ngapain gitu. Khan jadinya mereka enggak punya privacy, ya khan? Sering dulu, itu kurungan aku tutupin pakek gombal, biar kalau pas mereka making love mereka punya privacy, biar gak malu. Lhah kalau nggak kawin-kawin, nggak bertelur. Buntutnya emak ngedumel. Emak emang hobby banget melihat hidup ayam nelangsa.
![]() |
foto dari sini |
Dan enggak tahu kenapa tiba-tiba emak memutuskan untuk menjual semua menthok (7 ekor). Yang aku tahu, setelah menthok dijual aku punya seragam dan sepatu baru. Saat SD aku cuma dibelikan seragam dan sepatu satu kali, yaitu pas kelas 4 SD, ya pas menthok itu terjual. Jadi pas jalan ke sekolah, pas jalan itu aku merasa sepatuku bunyi wak-wek-wok. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi sungguh risih dan merasa bersalah telah membenci menthok. Akhirnya pas keluar dari rumah dipakai tapi selang lima menit sepatu dilepas, dipakai lagi di depan gapura SD. Pulangnya juga gitu. Di depan gapura dilepas, hampir sampai rumah dipakai lagi. Sebelumnya aku pakai lungsuran dari tetangga kanan kiri yang mempunyai anak sebaya denganku. Hidup saat itu susah, amat susah. Meski begitu dulu damai banget.
Kembali ke ayam dan burung. Kemarin saat emak aku telpon, beliau bilang burung brenggala satu-satunya itu sakit. Eh sebenarnya bukan sakit tapi tidak mau ngigel/bersuara. Dan keluarlah lagi kecerewetanku.
"Kurungane diganti, tumbas anyar," perintahku.
"Niku penyakiten, wong kurungane kotor," kataku.
Lalu terdengar suara simbah menggumam entah apa. Simbah yang sakit uzur itu seperti tahu bila-bila aku menelpon. Beliau minta air anget, katanya. Lalu aku membayangkan emakku yang juga sedang sakit itu tergopoh-gopoh ke dapur, mengambil segelas air hangat. Lalu aku mendengar suara emak melemah, seprti tercekat, seperti mau nangis.
"Wong lara ngopeni wong lara. Lara kok bareng," katanya.
Sesaat kami terdiam. Tak berani aku meneruskan kecerewetanku. Pikiranku tak keruan. Sedang emak melanjutkan keluhannya.
"Anak mung siji, adoh sisan," katanya. Lalu diam.
Aku yakin di sana emak menangis. Tapi tak ada suaranya. Beliau lebih nelangsa dari pada ayam jago dan ayam cewek dalam kurungan tadi. Punya anak pungut satu saja enggak bisa merawatnya dengan baik. Mungkin juga beliau mengkhawatirkan masa tuanya tanpa anak di sampingnya. Mungkin juga beliau merasa kesepian atau takut atau perasaan lain yang aku tak tahu....
**Jam 2 dini hari. Masih belum bisa tidur mengingatmu, Mak.
Setahun lagi, nggak akan lama kok.
Semoga njenengan segera sehat, aamiin.